Revolusi
Mental
adikku ada-ada saja
lagunya
masak nanya enyak
tentang pohon beras
nyak begitu tanyanya
emang beras ada pohonnya
tersentak aku oleh
celotehnya lugu
aku dulu tak pernah
begitu
aku jadi terharu
di kecilku dulu
sawah luas selebar jagat
pohon padi daun cincau
pernah kucuri
adikku kecil tak lagi
alami
bau lumpur nimba kalenan
juga tak lagi
jangankan ani-ani pohon
padi pun tak ngerti
. : ah, apa begitu
perubahan ini
(Pohon Beras, 2009)
Sebuah
puisi saya kutip di atas, sebagai pembuka tulisan ini. Puisi yang Saya tulis
itu bercerita tentang sebuah generasi yang tak lagi mengenal pohon padi. Apakah
ini sebuah ironi? Ironi dari masyarakat kita hari ini. Masyarakat yang konon
dikenal sebagai masyarakat agraris, tetapi generasinya hari ini sudah tidak
lagi mengenal pohon maha penting dalam kehidupannya. Sebuah pohon yang dahulu
pernah membuat kita bangga karena keberhasilan swasembada pangan. Kini tidak
semua anak dari generasi hari ini yang betul-betul mengenal pohon ini.
Seberapa
penting generasi kita hari ini mengenal pohon-pohon yang begitu melekat dalam
kehidupan mereka? Apakah sepenting mereka belajar bagaimana berselancar dengan
baik di dunia internet? Atau keberadaannya tidaklah terlalu penting untuk
diketahui. Karena mengenalnya adalah symbol ketertinggalan. Tidaklah penting
generasi kita tahu apa dan bagaimana pohon ini. Cukup mereka mengerti bahwa
beras adalah kebutuhan pokok mereka. Membelinya adalah cara termudah untuk
mengonsumsinya.
Generasi
kita hari ini, yang tak mengenal apa dan bagaimana pohon ini, rasanya tidak
layak memimpin negeri ini. Bagaimana mereka mampu merasakan kebutuhan
masyarakat luas bila kebutuhan dasar dari masyarakat dan dirinya sendiri saja,
mereka abai. Sulit membayangkan seorang pemimpin masyarakat sama sekali tidak
tahu bahwa ia dibesarkan dari pohon ini. Mengenal pohon padi adalah upaya
mengenal diri sendiri. Mengenal diri sendiri adalah jalan menemukan sikap
mental apa yang hendak dibangun
.
.
Modernitas
dan perubahan mengasingkan kita pada
masa lalu. Kerap kita mengalami amnesia sejarah. Bahwa menemukan masa lalu
tidak terlalu penting bagi upaaya untuk maju. Hari ini kebutuhan kita adalah
bagaimana tampil sejajar dengan orang lain. Bahkan kalaupun belum sejajar
bagaimana caranya disejajarkan. Tidaklah penting cara berpikir seperti apa yang
kita gunakan. Tetapi, apa yang bisa kita tampilkan adalah sebuah pencapaian
prestasi yang hebat. Meski, untuk itu kita hanya perlu menempelkan cara
berpikir kita pada sekelompok masyarakat lain yang kita anggap lebih hebat. Tak
penting isi (substansi). Terpenting adalah orasi.
Saya
kira salah satu factor penting yang perlu dipikirkan dalam gerakan “revolusi
mental” ini bersikap kritis pada hal-hal yang remeh temeh seperti ini.
Mengajarkan generasi muda kita mengenal pohon padi bukan pekerjaan yang
sia-sia. Mendekatkan mereka pada hal-hal yang sesungguhnya sehari-hari mereka
makan, dirasakan dan hadapi adalah pekerjaan kebudayaan yang teramat penting.
Ini jauh lebih penting dari sekadar membuat program beasiswa anak-anak penting
untuk sekolah ke luar negeri.
Revolusi
mental tidaklah berasal dari ruang kosong. Ia pastinya berlatar kesadaran
sejarah. Mau mengerti apa yang seharusnya menjadi bagian dari wilayah kesadaran
kolektif jauh lebih penting dari sekadar kesadaran yang bersifat parsial.
Karenanya, berbicara revolusi mental pada dasarnya kita sedang berusaha untuk
mengerti latar kita terlebih dahulu. Apa dan bagaimana kita di masa lalu.
Bagaimana kita berpijak hari ini. Dasar utama dari semua itu adalah kesadaran
untuk mencoba melihat dengan jernih masa lalu kita. Memilahnya. Menemukan
sesuatu yang berharga. Menjadikannya sebagai modal social kita hari ini.
Saya
kira, ke arah sanalah gerak revolusi mental kita bisa dimulai. Seperti tersirat
semangatnya dalam sebuah puisi dibawah ini:
ingatanku
sedang mencari hulu
agar
tepat jalan ke bentang muara
setiap
berhenti singgah selalu sempat kupandang
ganggang
lumut cere sepat rumput ilalang
di
kampungku tak kutemukan laut
kuserahkan
saja padamu pengartian gelombangnya
aku
sendiri merasa asik saja menganyam jaring
memastikan
waktu menangkap ikannya
di
tempatku dulu biasa memanggil semut
dengan
mantra katelku aliya kusebut
sebagai
pemintal benang
agar
datang semut-semut geramang
di sana
tak ada yang mencintai puisi
seperti
caraku saat ini
tetapi
ibuku selalu berlinang
jika
kubacakan padanya berulang
(Declare,
2009).
Mungkin suatu saat kita akan dipertemukan dengan sebuah
pertanyaan, “Apa Jawa punya aksara?”. Wallohu a’lam.
By Akhmad Fikri Af
Published by ndomblong corporation