Menghadirkan kembali apa yang sudah ada sebelumnya. Demikianlah pemahaman simpel tentang kata majemuk purwakanthi pada judul tulisan ini. Sesederhana ini pula saya ingin mengawali tulisan singkat tentang bagaimana gerakan aksara Jawa di Yogyakarta tetap terjaga iramanya, serta apa yang mendasari slogan “Belajar Aksara Jawa Adalah Belajar Kesantunan” dalam gerakan literasi aksara Jawa yang dicanangkan oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan).
Mungkin tidak ada salahnya juga jika kita mengetahui tentang istilah purwakanthi. Istilah Purwakanthi sendiri dalam khasanah ilmu sastra Jawa merujuk pada suatu kesamaan rima atau bunyi dalam kalimat untuk mempertegas dan memperindah sebuah kalimat. Rima yang dimaksud adalah kemiripan bunyi vokal atau konsonan dalam suku kata ataupun pengulangan kata bagian belakang yang menyambung atau mengikuti kata yang sudah disebut pada bagian awal.dalam suatu kalimat.
Sedikit belajar mengenal istilah purwakanthi dalam sastra Jawa. Purwa berarti awal dan kanthi berarti gandheng atau teman, sehingga purwakanthi adalah susunan kata yang memperhatikan penggandhengan atau menghadirkan kembali swara (huruf vokal) atau sastra (huruf konsonan) atau tembung (kata) yang sudah disebutkan di awal.
Terdapat 3 Jenis Purwakanthi dalam bahasa dan sastra Jawa.
- Purwakanthi Guru Swara yaitu: Pengulangan bunyi vokal (a,I,u,e,ě,o) dari suku kata pada kata yang sudah disebutkan di awal. Contoh : Ati karěp, bandha cupět. Kudu jujur, yen pengin luhur.
- Purwakanthi Guru Sastra yaitu: Pengulangan bunyi konsonan pada awal kata di kata selanjutnya. Contoh : Sluman-slumun slamet. Tatag, tětěg, bakal tutug. Madhěp mantěb mélu mara tuwa.
- Purwakanthi Guru Basa atau Lumaksita yaitu: Pengulangan kata dalam sebuah kalimat. Kata yang sudah disebut didepan akan diulang kembali di bagian selanjutnya. Contoh : Witing Klapa, klapa mudha saumpama. Jaranan-jaranan, jarane jaran teji. Carang wrěksa, wrěksa wilis tanpa patra.
Kata CARAKA diambil dari susunan aksara Jawa hanacaraka, namun kata caraka dalam ilmu bahasa dan sastra Jawa juga mempunyai arti wakil, sehingga caraka bisa diartikan wakil dari bunyi, yaitu aksara.
꧋ꦲꦤꦕꦫꦏꦥꦿꦠꦟ꧀ꦝ꧈ꦲꦤꦈꦗꦂꦲꦤꦸꦤꦶ꧈ꦢꦢꦶꦗꦼꦗꦼꦂꦫꦶꦁꦱꦠꦿꦶꦪ꧈ꦱꦱ꧀ꦠꦿꦭꦩ꧀ꦥꦃꦲꦶꦁꦥꦏꦼꦂꦠꦶ꧉
ana caraka pratandha ana ujar ana uni, dadi jejering satria sastra
lampah ing pakerti.
Matur Nuwun. Je. Genk KobraAksara Jawa HANACARAKA meskipun sudah hidup/urip (sudah mengandung vokal), tidak akan mampu melenggang dan eksis mengarungi jaman jika tidak ada penulis dan pembacanya, maka aksara Jawa juga membutuhkan caraka/wakil yang akan membawanya eksis kembali. Pemangku kebijakan dalam hal ini Pemerintah Daerah melalui Dinas Kebudayaan atau yang terkait, para pegiat, para guru bahasa Jawa dan para budayawanlah sesungguhnya “Carakaning Caraka”. Tanpa disadari oleh para carakaning caraka, aksara Jawa akan membimbing mereka menjadi satria yang memahami harmoni (sastralampah) dalam perilakunya, yaitu dapat memahami keterkaitan antar satu dan lainya dalam kehidupan sosial, bisa memahami keterkaitan antar peristiwa, serta mampu memahami keterkaitan alam semesta.
Kata kunci dari kalimat purwakanthi adalah “KANTHI”. Kanthi berarti gandheng, tuntun, bisa juga berarti lumantar (melalui). Menganthi adalah sebuah perbuatan membantu atau menjaga satu sama lain agar tetap bisa berjalan. Artinya bergandheng tangan adalah cara urip lan ngurip-urip.
Dengan bergandheng tangan maka akan tercipta sebuah jejaring yang kuat antar pegiat/komunitas dan antara pemerintah dengan komunitas dalam membangun gerakan kebudayaan, agar selalu terjaga harmonis sebagai alat pertahanan hidup atau pe lestarian. Dengan bergandhengan maka para “caraka” akan menjadi “padhajayanya” (sama sama berjaya), sebagaimana pelajaran dalam urutan “hanacaraka” bahwa kita tidak mengenal siji urip, siji mati, tapi urip kabeh, hal ini menunjukkan bahwa tidak ada logika “mateni” dalam perilaku wong Jawa. Kalau mau bermusyawarah saling memahami ya urip kabeh. Kalau tidak mau saling berbagi, ya mati kabeh.
Aksara Jawa mengajarkan prinsip urip lan ngurip-urip melalui keterkaitan antar kata tanpa spasi (scriptio continua), disebut juga dengan sastralampah. Sistem Abugida yang mendasari aksara adalah prinsip bahwa unsur terkecil dari kata adalah suku kata yang hidup (sudah mengandung vokal). Apabila ada aksara yang terpaksa mati ketika disusun menjadi kata atau kalimat, maka dibutuhkan pasangan untuk menghidupkannya kembali, atau diberi “pangkon” untuk melestarikan bentuknya.
Pangkon dalam aksara Jawa berfungsi melestarikan aksara yang mati, bukan mateni aksara (membunuh). Aksara yang mati dan diberi pangkon bentuk wujudnya akan tetap atau tidak berubah. Andai kita menganggap pangkon itu mateni aksara, maka bagaimana kita harus memaknai kata Mangkubumi atau Mangkunegara????. Apakah akan kita jawab dengan “mateni bumi dan mateni negara????”. Sesederhana inilah hal yang perlu disampaikan kepada masyarakat umum untuk merubah frame tentang cara berfikir orang Jawa.
Bagi saya sendiri, sastra yang sesungguhnya bukanlah hal yang sulit dan serba ndakik-ndakik. Namun satra akan lebih sederhana untuk difahami jika frame kita adalah urip lan ngurip-urip, membuat sesuatu yang indah dan menyenangkan bagi semua, sebagaimana saya memahami “temangga dengan jaringnya”, saya memahaminya dengan “kudu guyub karo tanggane” harus rukun dengan tetangga. Dan itulah pertahanan hidup bersosial budaya.
Begitulah cerita tentang gerakan aksara Jawa di Yogyakarta yang selalu terjaga ritmenya, karena antara Pemerintah Daerah dan para pegiat aksara saling memahami tentang harmoni dengan saling bergandhengan. Tidak seperti sebuah letupan besar yang kemudian mereda lalu menghilang. Untuk teknis pengenalan dan pembelajaran aksara Jawa, masyarakat dikenalkan dengan hal-hal yang simpel dan menyenangkan sekaligus pemahaman-pemahaman tentang logika dasar aksara Jawa dan sejarah aksara Jawa di awal belajar. tanpa harus ditakut takuti dengan tata tulis salah dan benar, serta beban harus menghafalkan bentuk aksaranya. Hal ini bertujuan menggelitik kesadaran filosofis dan menumbuhkan kebanggaan terhadap norma dan nilai-nilai budaya sendiri sebagai pondasi belajar. Melalui pemahaman tersebut masyarakat jadi mengetahui bahwa bentuk aksara dan perubahan tata tulisnya merefleksikan perilaku dan evolusi budaya wong Jawa.
Akhirnya, meskipun sangat singkat tulisan ini, semoga memberi kita pengetahuan bahwa urip lan ngurip-urip sebagaimana diajarkan dalam aksara Jawa adalah sebuah bentuk kesantunan. Kesadaran filosofis bahwa Aksara Pasangan merupakan upaya untuk menghidupkan kembali sebuah suku kata dengan cara rela menurunkan ego dengan berubah bentuk atau posisinya, serta Pangkon sebagai sandhangan untuk melestarikan bentuk bagi aksara yang mati adalah bagian dari urip lan ngurip-urip. Semua ini adalah bentuk guratan nafas kesantunan yang mampu merefleksikan perilaku sesungguhnya Masyarakat Jawa. Semoga bisa menjawab pertanyaan tentang “belajar aksara Jawa adalah belajar kesantunan”.
Penulis juga berharap agar kita mengingat kembali tentang keluhuran budaya para leluhur kita dan mampu menjadi “caraka” untuk menghadirkan kembali esensi dari keluhuran tersebut untuk diterapkan dalam kehidupan berbudaya masa kini dan masa nanti. Hal ini sekaligus meneguhkan eksistensi kita sebagai Wong Jawa di era global.