Nunggang jaran teji (naik kuda yang
bagus) sudah pasti mampu dan akan lebih cepat melakukan perjalanan ke wilayah wilayah
yang lebih jauh daripada berjalan kaki. namun dengan
konsekuensi bahwa kita tidak pernah merasakan setiap
jengkal tanah yang kita lewati/lalui, karena sesungguhnya yang berjalan itu
kudanya, bukan kita yang notabene cuma sebagai Penunggangnya.
berarti… awake dhewe ora melu mlaku,
mergo sing mlaku mung jarane.
“Numpaki”…
Numpak jaran kepang… dalam bahasa jawa,
arti Tumpak adalah Hari Sabtu, dan arti umpak adalah Batu penyangga Tiang
bangunan/saka guru yang berfungsi sangat vital dalam sebuah bangunan. sebab akan menentukan kokoh dan tidaknya sebuah bangunan berdiri. dalam hal
numpaki jaran ini, kita akan minjam arti dan makna dari kata umpak.
Numpaki Jaran Kepang (naik Kuda dari kepang)
pasti akan tertinggal jauh dari orang lain yang naik Jaran Teji, karena jika
kita numpaki jaran kepang sesungguhnya justru kaki kita yang menyangga kuda serta
memeganginya (jaran) serta menggapitnya dengan kedua kaki kita. maka otomatis kaki kitalah yang selalu menapak bumi
sekaligus merasakan setiap jengkal tanah dalam perjalanan ini (laku).
berarti… awake dhewe sing mlaku, jarane
dicekeli karo mlaku.
Monggo… jarane arep ditunggangi apa
ditumpaki?
Lalu... begitu juga dengan ajaran-ajaran yang sudah
kita yakini, apakah akan kita tunggangi?, ataukah akan kita tumpaki?
Berawal dari obrolan tentang Sejarah & Budaya Nusantara dengan beberapa
sedulur-sedulur yang sangat concern tentang Budaya di Nusantara ini,
membuat otak saya dipenuhi berbagai pertanyaan yang terus berputar-putar.
Bagaimana mungkin kita dapat mengerti dan memahami sejarah kita sendiri
tanpa memahami budayanya?.
Bagaimana mungkin kita tahu nilai-nilai luhur kabudayan kita tanpa kita
membacanya melalui karya-karya para pujangga leluhur kita?.
Bagaimana mungkin kita memahami karya-karya tersebut jika kita hanya
mampu membaca salinannya/ terjemahannya tanpa mampu membaca dari teks
aslinya yang penuh dengan sandi2 dan falsafah hidup masyarakat jawa?.
sebagaimana kita membaca huruf arab dari tulisan latin, pasti akan banyak
kesukaran atau kendala dalam memahaminya.
Intinyaaa.... ternyata selama ini saya BUTA HURUF.
Kunci awalnya hanya satu. Saya harus bisa membaca & menulis dengan aksara
jawa.
Saya mulai belajar membaca dan menulis huruf jawa dengan mengumpulkan
referensi buku-buku dan situs web tentang aksara jawa berikut cara menulisnya dengan menggunakan komputer. salah satunya bisa
dilihat di Official Site of Aksara Jawa HANACARAKA http://hanacaraka.fateback.com
Begitu banyak usaha dari para sedulur-sedulur ahli bahasa Jawa dalam nguri-uri
aksara jawa agar tetap lestari di bumi indonesia yang patut kita acungi jempol.
Namun masih saja muncul pertanyaan-pertanyaan di otak saya.
Bagaimana membuat aksara ini menjadi aksara gaul di kalangan masyarakat
kita khususnya remaja jika ternyata sangat banyak aturan-aturan yang akhirnya
membuat masyarakat kita malas mempelajarinya?.
Adakah jembatan awal agar minimal aksara ini "nyanthol" di otak pewarisnya?.
lagi lagi bagaimanaa... ?.
Saya akhirnya mencoba ikut sedikit berpartisipasi dalam usaha sedulur-sedulur
yang sudah berusaha keras dalam melestarikan aksara jawa ini dengan berusaha
menyusun font aksara jawa JAVAHOLIC_Genk_Kobra.ttf yang bisa di download disini
klik.
Impian saya, semoga nantinya saya juga mampu menyusun trick-trick agar bisa
membuat aksara jawa lebih gaul lagi di kalangan sendiri terutama para pemula
seperti saya dengan meminimalisir kendala-kendala dalam menulis dengan
aksara jawa, sehingga aksara jawa bisa digunakan dalam mengekspresikan
karya dalam bentuk tulisan di era global sesuai dengan perkembangan bahasa
Jawa sekarang yang masih dipakai sebagai alat komunikasi oleh masyarakat
Jawa kini.
Semoga aksara ini mampu "anglaras ilining banyu-nanging ora keli" mengikuti
arus zaman tapi tidak hanyut dan hilang ditelan zaman.
Sekali lagi... Semoga.