Thursday, November 18, 2021

JOGJAKARTA KOTA HANACARAKA




Yogyakarta dalam Lembaran-lembaran masa dengan segala ceritanya menjadi bukti bahwa Yogyakarta sejak berabad-abad silam dari era mataram kuna hingga mataram baru mampu menempatkan diri sebagai  Inisiator dan Leader Campaign dalam berbagai hal. dari sisi Seni Budaya, Toleransi, Pendidikan hingga Sosial Politik. Hal ini tak lepas dari peran para leluhur jawa dalam membangun pondasi pedoman (tuntunan) perilaku bagi masyarakat Mataram.

Berbagai jargon yang disandang Jogja, seperti kota Pelajar, Kota Budaya, Kota Toleransi, Kota Batik dll. mampu menginspirasi kota-kota lain untuk ikut tergerak menggelorakan kembali pelestarian dan kebanggaan terhadap kearifan-kearifan lokal yang dimiliki oleh bangsa ini.

Yogyakarta sebagai inisiator gerakan penggunaan kembali aksara jawa di era digital ini tak lepas dari semangat penguatan kembali pondasi karakter dan perilaku yang telah ditanamkan oleh para leluhur Jawa. "Aksara sebagai pembangun karakter sebuah bangsa" sebagaimana yang telah digunakan sebagai tema oleh UNESCO pada peringatan Hari Aksara Internasional ke 46 tahun 2011  pun telah jauh berabad abad silam dibuktikan oleh para founding father mataram.

Sultan Agung Hanyakrakusuma dengan Sastra Gendhing membuat pondasi / tuntunan perilaku bagi masyarakat mataram sehingga mampu menumbuhkan harga diri bangsa Jawa dan berdiri sejajar dengan bangsa bangsa lain di dunia. 

Kini.... era digital menjadi momentum untuk meneguhkan kembali bahwa  Aksara Jawa masih tetap eksis dan digunakan oleh masyarakat mataram. Dengan semangat “Anglaras ilining banyu,  Hangeli ning ora keli” (mengikuti arus zaman, namun tidak terhanyut) maka Sastra Gendhing menapak menjadi Sastralampah.

Jargon Jogja Kota Hanacaraka diharapkan dapat menaungi semua gerakan yang ada di jogjakarta terkait keaksaraan Jawa serta menjadi pengingat bagi masyarakat umum bahwa di jogjakarta kita harus bisa beraksara jawa.

ꦩꦠꦸꦂꦤꦸꦮꦸꦤ꧀ 


Yogyakarta 31 Agustus 2021


tentang lagu Branding INI JOGJAKARTA "Kota HaNaCaRaKa"
Lagu : Ardie Susanto
Syair : Ardie Susanto, Joko Elysanto & Setya Amrih Prasaja
Music Arranger : Ardie Susanto (Genk Kobra)
Lead Vocal : Ardie Susanto
2nd Vocal   : Je Elysanto
Choir : Team Bahasa,Sastra Disbud DIY, Team KAJ & MGMP SMA/SMK DIY

Gemuruh Suara
Mengalun indah di puncak nirwana
Mengalirkan cinta
Menuju tepian samudra

Eee Ya ee ya Oooo

Melewati masa
Membuka berjuta rahasia
Aksara terangkai
Mengungkap ribuan kisahnya

Warna-warni goresan harmoni
Terlukis indah di atas tanah ini

reff.

Jogjakarta.... na na na na na na na
ini Jogjakarta... na na na na na na na
ini Jogjakarta.... ha ha ha ha ha ha ha

Ada tawa, ada rindu, ada cerita
Kota Hanacaraka.... ini Jogjakarta
Jape Methe semua... ini Jogjakarta

Kundha kabudayan ing ngayogyakarta
Pigunaning sastra ambuka bhawana
Nyawiji kinanthi luhuring pangeksi
Wahananing gati sinongsongan budi

Ana caraka pratandha
Ana ujar ana uni
Dadi jejering Satriya
Sastralampah ing pakerti
 

kembali ke reff


Tentang Isi Lagu

Kisah apa yang ingin kita ungkapkan

Gemuruh Suara, Mengalun indah di puncak nirwana
Mengalirkan cinta, Menuju tepian samudra

Kata Nirwana : Dalam pengertian lebih dalam Nirwana bermakna puncak            kebahagiaan, suatu keadaan dimana telah musnah segala hawa nafsu,  Hal ini menyiratkan makna sebuah Kebijaksanaan

Kata Menuju : Menyiratkan angka (7) tujuh.  menggambarkan tujuh sungai yang mengalir dan menopang peradaban di wilayah Yogyakarta (sapta sindhawah).

Mengalirkan Cinta dari puncak menuju tepian samudra. Kalimat ini mengisyaratkan pada sumbu imaginer Yogyakarta. Gunung Merapi dan Laut Selatan.  

E yae Ya O.... E E E ya e ya O

E ya Ya O : Disamping sebagai Senggakan khas Jawa (meningkahi lagu/sorak).
kalimat ini mengingatkan kita pada literasi aksara jawa yang harus berhati-hati jika menulis bunyi E dan O. karena sandhangan penandha bunyi E dan O berada didepan aksaranya. (Taling dan Taling Tarung).


Melewati masa, Membuka berjuta rahasia
Aksara terangkai, Mengungkap ribuan kisahnya

Warna-warni goresan harmoni, Terlukis indah di atas tanah ini

Jogjakarta.... na na na na na na na
ini Jogjakarta.... ha ha ha ha ha ha ha


Na na na Ha ha ha : Sebuah ungkapan yang multi makna. Setiap orang yang pernah ke Jogjakarta mempunyai kenangannya sendiri sendiri.

Na Na Na dan Ha Ha Ha juga mengingatkan kita akan unsur terkecil dalam aksara jawa yaitu suku kata dan sudah berbunyi vokal "a".
Alfasylabik / abugida bukan seperti alfabet a b c d e.

Ada tawa, ada rindu, ada cerita
Kota Hanacaraka.... ini Jogjakarta
Jape Methe semua... ini Jogjakarta

Jape Methe : "Cahe Dhewe" Sebuah bahasa walikan (sandi) yang banyak digunakan oleh masyarakat Jogja yang berdasar dari susunan aksara jawa Hanacaraka.

"Jape Methe" sebuah ungkapan yang menunjukkan bahwa di jogja itu semua berteman baik dan diharapkan akan semakin menumbuhkan rasa solidaritas dan rasa aman di Yogyakarta


Syair Tembang jawa yang terdengar sayup-sayup di tengah lagu :

Kundha Kabudayan Ngayogyakarta : Dinas Kebudayaan DIY, dalam hal ini lokasi Markas Aksara Jawa di Yogyakarta.

Gunaning sastra Ambuka Bhawana : Sengkalan Penanda tahun Pra Kongres(1953 Jawa). 
Sengkalan ini bermakna “Sastra (Literasi) sebagai kunci pembuka peradaban Dunia”

Nyawiji Kinanthi Luhuring Pangeksi : Sengkalan Penanda Tahun Selebrasi (2021M)
Sengkalan ini bermakna “Bersatu Bergandeng tangan menyiapkan Generasi Masa depan yang lebih baik (Visioner)”

Wahananing Gati Sinongsongan Budi: Sengkalan Penanda untuk Tahun Kongres (1954 Jawa) 
Sengkalan ini bermakna “ Segala Inovasi sejatinya harus dilandasi dan dipayungi oleh budi pekerti.



Ana caraka pratandha, Ana ujar ana uni
Dadi jejering Satriya, Sastralampah ing pakerti

Ana caraka pratandha : Hanacaraka adalah tanda/ wakil dari suara atau bunyi.
Maka setiap bunyi harus sesuai dengan karakter tulisannnya yang menjadi caraka.

Dadi jejering satriya : Bunyi atau ucapan yang sesuai dengan karakter tulisannya itu menjadi pedoman karakter bagi seorang satria.

Sastralampah ing pakerti : Sastralampah (scriptio continua) script yang bersambung tanpa spasi dalam suatu konteks kalimat utuh.

Sastra sendiri dalam khasanah jawa menyiratkan sebuah ketajaman dalam berbagai hal, maka perilaku Satriya seyogyanya harus tajam dalam berfikir dan bertindak, serta selalu dalam kesesuaian antara ucap dan tindakan. karena selalu melihat sebuah peristiwa dalam sebuah konteks yang utuh. 


Tuesday, July 30, 2019

SAR DIY & RESTORASI SOSIAL - Cak Nun (Gerbangpraja Dinsos DIY)

CakNun.com
SAR DIY Kangen Cak Nun: Sarasehan Restorasi Sosial




CakNun.com CakNun.com
3 hari ago

https://www.caknun.com/2019/sar-diy-kangen-cak-nun-sarasehan-restorasi-sosial/amp/?__twitter_impression=true

Gedung Balai Desa Wirokerten, Banguntapan, Bantul pada Jumat malam 26 Juli 2019 ini dipadati oleh para laskar berseragam orange. Sikap-sikap tubuh mereka tegas, tapi juga terkesan santai. Jauh dari nuansa militeristik, karena mereka memang bukan pasukan paramiliter, bukan sipil yang berlagak militeris. Persatuan dan kekompakan mereka tampaknya berlandaskan komunalitas, bukan kekompakan dari militansi pada barisan dan massa dogmatis. Tidak hanya lelaki, beberapa wanita muda dan ibu-ibu juga tampak, serta membawa putra-putri mereka. Kita bisa dengan segera mengenali mana bedanya komunal dengan militansi massa kalau kita berada di tengah mereka. Apapun itu, yang nampak adalah kebahagiaan semata.

Seseorang di panggung menggelorakan “SAR DIY!” seisi gedung menyahut “SIAGA!”. Lelaki itu melanjutkan seruan “YOGYAKARTA!” dan para hadirin kembali menyahut kompak “ISTIMEWA!”.

Pria seram itu, Ndan BS, melanjutkan “KANGEN CAK NUN!”. Dan seisi gedung tumpah pecah dengan seruan berbarengan “BANGETTT”.

Tentu untuk bisa menjadi satu koor seperti ini, ada penataan-penataan sebelumnya yang dilakukan oleh Ndan BS panggilan akrab Mas Brotoseno sang komandan SAR DIY pada anggotanya. Tapi pada mereka memang yang paling menonjol adalah pergaulan yang egaliter. Jumlah yang banyak bisa dipahami karena SAR sangat membutuhkan banyak tenaga saat merespons berbagai bencana. Jadi bukan besar jumlah karena massa ala ormas atau suporter belaka. Mungkin di antara mereka juga ada yang tergabung dalam ormas tertentu, mungkin juga ada yang jadi suporter tim sepakbola. Entah.

Pada kehidupan yang wajar, pemetaan tidak sepadat peta kaum akademis. Pada kesempatan ini Ndan BS menyampaikan bahwa SAR DIY sedang aktif pada gerakan restorasi sosial, dinamakan Gerbang Praja. Berasal dari keprihatinan bahwa makin terkikisnya budaya dan kearifan lokal, ini menurut Ndan BS juga adalah bencana. Maka SAR DIY kembali beraksi menanggapi dan menolong “korban” dari bencana sosial ini. Salah satu jalannya adalah dengan menggalakkan kembali bahasa dan aksara Jawa di wilayah DIY.

Sebelumnya, acara dimulakan dengan sajian makan malam bersama. Sementara panggung diramaikan oleh sebuah band yang bagi penduduk dan mahasiswa Yogya era 2000-an awal tentu sangat akrab. Genk Cobra, band lama yang dulu salah satu lagunya bisa dibilang sangat iconic dan melegenda. Nomer berjudul “Ngayokgyokarto” itu juga sempat dilantunkan. Ini sudah bisa kita katakan lagu kebangsaan kawula muda Yogyakarta pada masanya.

Sang vokalis tampak lebih berbahagia ketika Mbah Nun rawuh di gedung. Dan Mas vokalis dengan ta’dhim menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya pada Mbah Nun karena menurutnya konsep band Genk Cobra dulu pada awal terbentuk adalah bentuk amanah dari Mbah Nun dan disampaikannya bahwa  sejak awal terbentuknya Genk Cobra, Mbah Nun sangat terlibat . “Alhamdulillah Cak, kami masih istiqomah dengan amanah tersebut. Panjenengan pesan pada kami untuk terus berkarya dan melestarikan dengan bahasa Jawa. Sejak tahun 2000 sampai sekarang, kami masih ingat pesan panjenengan”. Dan turun dari panggung Mas vokalis langsung menyalami Mbah Nun dengan rindu.

Saat Mbah Nun telah dipersilahkan ke panggung, Mbah Nun bersama Pak Ian L. Betts, juga tampak hadir wakil bupati Bantul. Mbah Nun sangat mengapresiasi apa yang dilakukan oleh SAR DIY malam hari ini. SAR DIY dianggap bukan saja ikhlas berkorban untuk merespons bencana alam tapi juga bencana sosial. Memang pada malam hari ini, SAR DIY mengangkat tema Restorasi Sosial. Mbah Nun juga sempat memantik tema mengenai Restorasi dengan membabarkan perbedaan revolusi, reformasi, rekonstruksi dan restorasi.

Ada kesamaan antara Genk Cobra dan SAR DIY dalam memandang posisi Mbah Nun. Mereka memandang Mbah Nun sebagai sesepuh yang dinanti wejangan serta nasihatnya. Namun Mbah Nun lebih memilih agar acara berlangsung dengan ada sesi dialog agar tidak terjebak pada tradisi “mulang“. Tradisi mulang, dasar pikirnya adalah karena ada satu sosok yang merasa atau dirasa pantas mengajar yang lain, yang awam. Sedangkan dalam majelis Maiyah kita membangun tradisi Sinau Bareng, di mana yang dikedepankan adalah dialog bersama. Mencari masalah bersama dan merumuskan langkah juga bersama-sama. Mbah Nun misalnya memantik, “Restorasi adalah menemukan kembali, menegakkan kembali apa yang hilang. Ini panjang, karena kita harus tahu apa yang hilang.” Maka memang perlu bersama-sama.

Dalam pembahasannya, Mbah Nun menekankan bahwa Jawa dan Nusantara tidak semestinya minder pada kebudayaan lain karena sesungguhnya peradaban Nusantara juga bukan peradaban yang berada di bawah dari budaya lain. Mungkin, salah satu yang perlu direstorasi adalah kepercayaan diri kita dalam menghadapi dunia. Dan tampaknya, itu yang tengah direstorasi oleh Mbah Nun. Tentu perlu presisi. Ini bukan sekadar narsis budaya semata dan apalagi, bukan melulu romantisme masa lalu. Mbah Nun tegaskan bahwa Nusantara dan Jawa harus berdaya karena sesungguhnya dunia sedang sangat membutuhkannnya. “Yang anda sebut tradisi lokal itu bukan masa lalu. Dia adalah masa depan. Itu yang akan dilakukan oleh dunia di masa mendatang,” ungkap Mbah Nun.

Agar lebih presisi, Mbah Nun memberi kesempatan pada Pak Ian L. Betts untuk memberi gambaran bagaimana posisi Jawa dan Nusantara di dalam persoalan dunia dan permasalahan global saat ini. Pak Ian membenarkan ucapan Mbah Nun. Pak Ian yang sekarang ini menetap di Thailand juga merasakan hal yang sama. “Ketika saya keluar dari pesawat setelah mendarat di Yogyakarta, saya ada rasa nafas lega,” ungkapnya. Adapun di Thailand, Pak Ian juga menegaskan juga mirip dengan di Indonesia dalam hal kekayaan budaya, keramah-tamahan serta tradisi-tradisi yang merupakan peresapan tradisi Hindustan. Bahkan Ayuthaya dan Yogya menurut Pak Ian adalah berasal dari kata Ayodhya dengan dialek lokal masing-masing.

Sesekali Mbah Nun dan Pak Ian saling melengkapi bahasan. Mbah Nun sampaikan bahwa yang namanya negara (modern) inj baru ada 1945. Sedangkan Nusantara telah mengenal tata kelola yang juga tidak kalah dari tata kelola bernama republik. Tapi sejak ketika Sumpah Pemuda, pergerakan kita memang didominasi oleh kaum intelektual yang telah bercita rasa Eropa sehingga imajinasi pasca-kolonial terkungkung pada imajinasi negara modern. Ini menurut Mbah Nun adalah awal apa yang disebut “wong jowo gari separo“. Bukan artinya orang Jawa habis, tapi orang Jawa tidak berkarakter, bercitarasa dan bercita-cita lagi sebagai Jawa. “Kamu orang Jawa. Jadilah orang Jawa 100 persen. Indonesia adalah mitramu,” ungkap Mbah Nun. Dan posisi Jawa serta Indonesia dipresisikan bahwa kita sejajar dengan Indonesia, tidak perlu membencinya.

“Menolong Indonesia, bukan minta tolong pada Indonesia,” pungkas Mbah Nun.

Pak Ian melanjutkan bercerita bahwa beliau sempat menemani Mbah Nun ke beberapa negara seperti Inggris, Belanda, Finlandia, Jerman dan lainnnya karena saat itu beberapa negara tersebut membutuhkan bantuan untuk menangani konflik sosial yang meruncing. Mbah Nun menambahkan bahwa apa yang beliau lakukan saat itu sekadar menerapkan apa yang bagi wong Jowo merupakan keseharian dan kewajaran yakni gotong-royong dan tepo sliro. Memang dunia sedang menbutuhkan hal-hal semacam ini. Menjadi diri sendiri sebagai bangsa yang otentik, adalah bentuk nyata keterlibatan kita dalam turut menuntaskan persoalan bersama di atas dunia. Karena kita semua adalah pribumi di atas satu bumi yang sama.

Sesi dialog dibuka dan beberapa peertanyaan maupun yang bukan pertanyaan dari para hadiri mengalir dengan mesra. Ada seorang yang akrab disapa Pokbek menyatakan bahwa apa yang disampaikan Mbah Nun tampaknya menemukan bukti nyata dari cerita kawannya yang bersekolah di Turki. Ada seorang mahasiswa yang menanyakan bagaimana kiat agar kita bisa mengembalikan tradisi gotong royong pada negara ini. Mbah Nun mempresisikan kembali bahwa kita jangan berpikir dengan skala yang terlalu besar. “Anda tidak wajib memperbaiki negara. Tapi annda bisa mulai melakukan itu dari diri anda sendiri. Keluarga dan syukur-syukur beberapa orang terdekat anda,” jawab Mbah Nun. Kita juga perlu memang menakar diri kita sendiri.

Namun sebuah “ayat yang tidak diifirmankan” juga muncul malam hari ini melalui seorang bernama Prianto. Pak Prianto ini ternyata sekitar 25 tahun yang lalu adalah seorang karyawan toko di jalan Solo yang menjadi korban pemecatan sepihak. Pak Prianto berkata bahwa malam hari ini beliau tidak berniat bertanya, hanya ingin menyampaikan rasa rindu dan terima kasih. Karena Mbah Nun bersama teater Salahuddin kala itu, aktif melakukan pembelaan terhadap orang-orang seperti dirinya.

Itu adalah era “Lautan Jilbab”. Saat itu di negeri ini, jilbab belum sepopuler sekarang. Sementara pergerakan Islam pada situasi global, bangkit akibat euforia Revolusi Iran. Penggunaan jilbab kala itu mendapat represi baik secara politik maupun sosial. Banyak kasus pengguna jilbab yang dikeluarkan dari sekolah, dipecat sepihak dari tempat kerja dan sebagainya. Pandangan kala itu, penggunaan jilbab bermakna ideologis dan ideologi yang dimaksud adalah Islam. Sehingga lahir kebijakan-kebijakan perusahaan di mana tidak ada izin untuk jam shalat dan sejenisnya. Tampaknya Pak Prianto adalah salah satu korban dari kondisi global hingga nasional kala itu. Dan Pak Prianto merasa mendapat tempat, terselamatkan oleh pergeseran wacana keislaman yang dilakukan oleh Mbah Nun dan Teater Salahuddin.

“Harap diingat yang saya bela bukan jilbabnya. Saya membela hak orang untuk memilih yang nyaman bagi dirinya,” tegas Mbah Nun. Ini adalah restorasi, membangkitkan dan mengakkan kembali yang dulu pernah ada dan mungkin hilang. Dan itu urusannya rindu. Dan rindu adalah produk dari cinta. Malam ini penuh rindu dan cinta. (MZ Fadil)

Categories: Satu Dari
Tags: Maiyahan
CakNun.com
Back to top

Monday, May 20, 2019

INTIP DUNIA MAYA & DANI


Sebelumnya saya mohon maaf jika judulnya mengingatkan kita pada sepasang selebriti kita.. Mbak Maya & Mas Dani. Hal inj karena saya tak menemukan kata lain yang pas dan tepat sesuai dengan apa yang ingin saya ungkapkan kecuali menggunakan kata MAYA dan DANI. sekali lagi  mohon maaf yaa.

Lamaa sekali saya tidak pernah orek orek karena memang sejujurnya saya takut dipanggil sebagai tukang orek orek. Meski sebenarnya sudah sejak sebelum memasuki bulan puasa tahun 2019 ini saya ingin “orek-orek Intip” yang ada di hati dan fikiran saya ini, tapi karena berbagai hal, saya mencoba meredam keinginan untuk menuangkannya dalam orek-orekan. Namun rasa geli ini tak tertahan lagi untuk ngorek orek pakai keyboard tentunya... tidak pakai kaleng cat semprot yang sebarannya terlalu lebar dan baunya sudah pasti sangat menyengat hidung. 

Malam minggu bagi orang seumuran saya  ini memang lebih nyaman nongkrong dan ngopi di rumah saja sambil menghisap rokok dan menikmati secangkir kopi agak pahit ditemani sebuah barang yang hampir semua orang di jaman sekarang ini selalu menyandingnya, termasuk saya. Barang yang sudah menjadi kebutuhan primer bagi setiap orang masa kini, bahkan sudah menjelma menjadi “pasangan hidup” bagi masyarakat modern, yaitu HP.

Sinambi leyeh-leyeh, saya membuka-buka aplikasi di HP dan beryoutube ria melihat video-video tentang kehidupan liar dunia binatang. Video-video tersebut memang menjadi menu favorit kesukaan saya yang betul-betul bisa saya ambil hikmahnya sebagai  pelajaran hidup bagi saya pribadi, sekaligus  untuk merenung tentang segala kebesaran Tuhan.

Sebuah pelajaran tentang bagaimana seharusnya  kita menjadi manusia yang telah diciptakan oleh Tuhan dengan derajat yang lebih tinggi dari mahluk-mahluk yang lain. yaaa jadi ingat kepada Al-Ghazali yang menyebutkan bahwa manusia adalah “Hayawaanun Naathiq”. bahwa manusia itu adalah hewan yang diberi akal fikiran (berbicara dan berlogika). meskipun hewan disini bukan berarti hewan binatang, tapi mahluk ciptaan Tuhan yang diberi kelebihan dari mahluk yang lain.

Dalam keasyikan saya berselancar, tak henti hentinya saya takjub bukan hanya pada hal-hal yang saya temukan di dunia online, namun fikiran saya justru dibuat takjub juga oleh hebatnya akal manusia yang telah mampu mengembangkan ilmu pengetahuan terutama di bidang tehnologi informasi dalam hal ini tehnologi digital beserta perangkat perangkat pendukungnya, sehingga saat ini setiap orang bisa dengan mudahnya mengakses segala informasi tanpa harus ribet kesana kemari. cukup dengan satu perangkat HP.

Entah kenapa Fikiran saya tergelitik untuk mengenang kebelakang 30 tahunan lampau, di akhir tahun 80 an ketika saya masih menggunakan disket kertas untuk computer XT kemudian diupgrade menjadi AT dengan program-program komputer yang masih serba sangat terbatas sekali dibandingkan dengan program-program sekarang.

Kini saya dapat mengakses semuanya hanya melalui sebuah gadget yang relative kecil namun bisa saya gunakan untuk berkreasi serta mampu menghubungkan saya kesegala data informasi dunia yang tersaji dalam berbagai platform dan aplikasi aplikasi yang ada,  begitu cepatnya akselerasi perkembangan ilmu pengetahuan manusia di dunia elektronika dan informasi tehnologi. Tooop tenaaan!!!

Saya bukanlah seorang yang ahli IT, saya hanyalah seorang pengguna hasil karya para penemu dan para programmer komputer. Teringat ketika saya harus belajar program DOS dan menghafal setiap proses perintah secara runtut dan mengetiknya dikeyboard untuk sekedar membuat Font Italic pada program wordstar, CW,  atau bagaimana rumitnya membuat sebuah desain tampilan web dengan link-link radio buttonnya dimana saya harus belajar tentang HTML dan javascript, serta masih banyak lagi hal-hal yang dahulu masih sangat ribet, sekarang menjadi lebih mudah ketika semua sudah ada shortcut-shortcut dengan icon-icon yang memudahkan dan mempercepat pekerjaan kita.

Tak terbayangkan betapa hebatnya para ilmuwan 100 th yang lalu ketika mereka memulai usaha mereka dalam membuat sebuah perangkat dan system komputer hingga di tahun 1970 an perangkat perangkat komputer tersebut mulai diproduksi massal. dan di era itulah kita semua memasuki dunia digital yang semakin cepat perkembangannya hingga saat ini.

Bagi saya pribadi lompatan-lompatan tehnologi tersebut sangatlah membantu, karena dengan cepat atau Instant pekerjaan kita bisa kelar berkat adanya jalan pintas (shortcut). Bahkan program-program dan gadget-gadget baru alhamdulillah bisa dengan cepat saya pelajari. Ini semua karena sedikit banyak saya pernah belajar bagaimana runtutan ritual perintah-perintah di bahasa komputer, bagaimana sebab akibat dari pengkodean digital itu menghasilkan jejaknya, bagaimana dampak dari sebuah kesalahan kode, serta sedikit modal bahasa inggris tentunya. Hal inilah yang membuat saya selalu berhati-hati dalam menggunakan aplikasi-aplikasi online, terutama dunia sosial media, karena salah sedikit saja, saya harus siap menanggung akibatnya. kalau dalam syair lagu Genk Kobra berjudul Pari Gaga ditulis : “Mbok sing iso ngukur, Aja sok diawur, dadi ajur mumur”. 

Oh dunia “MAYA”

Kata “Maya” menurut kamus besar bahasa indonesia adalah khayal,......... namun seiring dg kemajuan tekhnologi, terminologi “Maya” digunakan juga untuk sesuatu yang tidak terlihat dan mengalami salah kaprah karena dipakai untuk segala hal yang berkaitan dengan internet (terutama aplikasi-aplikasi sosmed online). Meskipun sebenarnya dunia internet lebih tepat disebut dengan dunia Cyber. dimana arti Cyber secara gampangnya adalah sebuah system digital (computer) yang terhubung satu dengan lainnya melalui jaringan komunikasi, biasa disebut internet/Interconnection Network (seingat saya lho)

Duluuuu…. ketika perangkat HP yang terhubung dengan internet mulai berkembang dengan berbagai platform dan aplikasi aplikasi sosial media, masyarakat menamakan dunia online itu dunia maya, karena masyarakat mengira dunia itu sebagai dunia khayal. Dunia dimana kita bisa berkhayal untuk menjadi “apa dan siapa” sesuai khayalan kita. Atau lebih tepatnya masyarakat dunia sosmed menjadikan aplikasi aplikasi sebagai topeng yang bisa mereka pakai dan bisa bergonta-ganti topeng semau maunya.

“Pencitraan” istilah yang sering muncul di dunia online memang efek dari penggunaan tehnologi informasi melalui social media sebagai topeng bagi segala hal. baik persona maupun berita. Semakin banyak topeng yang dipakai, maka semakin khayal membumbung tinggi.

Konyolnya, budaya instan yang sudah meracuni kita semua menjadikan kita gampang menerima sebuah postingan di dunia online tanpa tergelitik untuk mencari kebenarannya, dalam hal ini menelusuri keabsahan berita melalui konfirmasi kepada source asli (yang ngetrend atau lagi viral sekarang dengan istilah tabayun atau klarifikasi) atau malas mencari berita pembanding. Sehingga segala hal yang muncul di dunia online langsung dilahap dan ditelan mentah-mentah. kalau istilah saya “diuntal malang”. wis diuntal utuh-utuh, posisinya melintang lagi. hingga muncullah istilah Hoax diakhir-akhir ini sebagai counter dari pencitraan.

Budaya Instan yang tanpa disadari sudah tertanam dalam alam bawah sadar, menafikan keberadaan akal sehat kita dan membuat kita tak pernah lagi mau melihat proses. Selalu saja berorientasi kepada hasil. Kita jadi terbiasa merasa cukup hanya melihat suatu peristiwa yang sepotong-sepotong, tanpa mau melihat konteks utuhnya.

Lebih konyol lagi jika ternyata kita memang lebih suka memotong-motong atau melompat-lompat demi sebuah kecepatan mencapai tujuan, tak perlu lagi belajar urutan ritual prosesnya. Semua harus serba cepat . Alih –alih mampu memilah berita Pencitraan dan Hoax, untuk sekedar mau belajar cara kerja komputer atau sekedar belajar mengetahui fitur fitur yang ada dalam sebuah gadget saja, kita malas. Sehingga muncul istilah gaptek (gagap tehnologi). Tak jarang kita temui, orang-orang  yang menghadapi masalah HP yang hang. lemot dan rusak, atau akun sosmednya kena hack dan lain sebagainya, yang kadangkala hanya karena kecerobohan kita sendiri.

Sepertinya tak bisa dipungkiri bahwa ada gap besar antara kecerdasan otak dengan kecerdasan sosial. Antara kecerdasan intelektual dengan kecerdasan spiritual dan emosional. Atau apapun istilahnya pasti para ahli pendidikan yang lebih  tahu. 

Menurut saya, laju perkembangan tehnology tidak dibarengi dengan kesiapan pendidikan mental dan karakter yang kuat. Kadang saya bayangkan seperti kemajuan dibidang kecepatan mesin mobil yang tidak singkron dengan kemajuan pengembangan sistem rem dan roda.

Goro-Goro…

Geger Genjik kemudian menyeruak dari dunia maya ke permukaan dunia nyata karena perangkat online yang kita pakai bercermin setiap saat, berbalik isinya menyerang kita. dimana sebelumnya kita anggap bahwa dunia maya mampu menjadi pabrik topeng bagi kita, kini betul-betul menjelma menjadi sebuah KACA BENGGALA yang setiap saat juga mampu menunjukkan segala aib-aib kita.

Masih sangat banyak orang mengira jagad maya itu betul betul maya. Jagad yang bisa mempoles kulit yang burik dan kasar menjadi halus dan mulus, yang jahat menjadi baik, yang hitam menjadi putih, yang jantan jadi betina.

Pertanyaannya adalah : “sampai kapan kita mampu memoles?”, Jika orang lainpun punya kebebasan berekspresi di jagad ini dan bereaksi terhadap apa yang kita ekspresikan.

Berharap-harap ada yang memuji, eeeee justru kritikan dan serangan yang bertubi-tubi dari masyarakat online (Netizen) kepada kita, karena mereka tahu realita kehidupan sehari hari kita. atau karena mereka menemukan jejak-jejak digital kita di masa lalu.

Postingan atau status yang kita buat di media social yang tanpa difikir panjang dampaknya, sangat bisa akan memunculkan reaksi yang berbeda dari yang kita harapkan. Apalagi jika status itu dibuat pada saat ada moment besar yang menyangkut masalah orang banyak.

Jujur saja, jagad trendy saat ini membingungkan saya. Bingung mencari ke”pener”an....... Bingung menentukan realita kekancan di sosial media. Bahkan untuk sekedar menyapa teman atau sedulur saja, saya harus extra hati-hati. mau njempoli status wae angel, takut disalah-fahami. karena saya tidak bertatap muka langsung dengan yang bersangkutan. Maka pada moment-moment tertentu saya justru banyak diam dan hanya mampu menyimak hiruk pikuknya jagad sosmed ini.

Keberadaan dunia maya yang sudah berubah menjadi kaca benggala akan menunjukkan wajah asli seseorang tanpa topeng dan pada akhirnya dampak positif dari keberadaan jagad online ini setidaknya mengajari kita untuk belajar jujur dalam berinteraksi sosial jika kita tidak ingin di unlike, di banned, di blokir, di suspend atau paling tidak kita harus siap di bully oleh masyarakat online jika kita tidak jujur.

Belajar dari dunia Jual Beli online, disini kita diajari untuk menjadi penjual dan pembeli yang jujur. Jika kita ingin menjual sebuah barang, maka kita harus jujur mendeskripsikan kondisi barang tersebut secara detil. Apabila kita tidak jujur, tentu kita akan di komplain oleh pembeli dan berdampak pada pembayaran yang disuspend oleh admin penyedia aplikasi atau barang akan diretur, hingga kemungkinan kita akan diblokir atau diviralkan bahwa kita adalah penjual penipu. Demikian juga di dunia jasa online seperti ojek online, pelayanan yang baik akan menghasilkan “Bintang” sebagai penanda kriteria recommended.

Rupamya jagad maya itu memang lebih tepat disebut jagad cyber, ketika semua system sudah terkoneksi dan semua data manusia baik fisik maupun karakter kepribadiannya masuk kedalam sebuah big data, Dimana manusia yang sudah terdigital dan bahkan dengan sengaja mendigitalkan hampir seluruh ke”manusiaan”nya kepada dunia IT. dari rekam fisik hingga cara berfikirnya melalui tulisan-tulisan yang merepresentasikan hati dan fikirannya tersimpan jejaknya dalam sebuah bank data. Mau lari kemana kita jika semua telah terkoneksi?

Kita wajib berhati hati menggunakan sosmed atau dunia maya, sebagaimana kita menjaga lisan dan perilaku kita sehari-hari. sebagaimana dalam peribahasa Indonesia “Lidahmu, Harimaumu”, atau biasa saya ucapkan dalam lagu Kembang Lambe Genk Kobra “Kembang Lathi, bacut kocap mbebayani”. Bahkan dalam obrolan guyonan dengan teman saya, dia berkelakar bahwa malaikat Roqib dan Atid sekarang juga memasang cctv di HP kita. hehehehehe.  

Ssssst tenang saja…. Alhamdulillah setidaknya ada dua hal yang tidak terekam oleh dunia digital ini, yaitu “NIAT dan KEYAKINAN”. siapa yang tahu niat dan keyakinan kita, selain Tuhan beserta malaikat pencatat amal. dan kita sendiri.

Dimana kita harus berdiri dan bersikap terhadap dunia sosmed ini? Bagaimana cara kita mencari yang benar atau yang salah? mana yang bermanfaat?, mana yang bermadlarat?

Benar atau Salah?

Dondong apa Salak? Duku cilik-cilik..

Ngandhong apa mbecak? Mlaku thimik-thimik 

Sebelum kita mencari ”benar dan salah”, seyogyanya kita fahami dulu bahwa konsep “Benar dan salah” yang dibuat oleh manusia itu tergantung dari sudut pandang, keberfihakan dan kesepakatan kepentingan sekelompok manusia. Seseorang bisa dianggap pahlawan oleh sekelompok orang, namun bisa juga dicap sebagai penghianat oleh sekelompok yang lain. Sesuatu bisa dikatakan benar oleh kelompok A, tapi sekaligus dikatakan salah oleh kelompok B. Di wilayah ini masih memungkinkan adanya ruang etik dari pembuat aturan.

Ada lagi istilah “benar dan salah” versi system bilangan bahasa biner. Sistem bilangan ini merupakan dasar dari semua system bilangan berbasis digital. Bahasa komunikasi komputer yang hanya mengerti bilangan 0 dan 1 (kosong dan isi), yang merepresentasikan bahasa “Yes dan No” yang didunia IT disebut Binary Digit, disingkat Bit. yang pengelompokannya dalam komputer selalu berjumlah 8, disebut 1 Byte yang berisi 8 Bit. Bahasa ini hanya mengenal “Ya dan tidak” sesuai yang diprogramkan oleh pembuatnya. Bahasa komputer tidak mengenal Iba dan kasihan. Komputer tak mengerti bahasa etik. Maka jika ada kesalahan pada komputer, maka jelas yang salah adalah manusia yang membuat perintahnya.

“Benar dan salah” di dunia online dan dunia nyata bisa dirunut semuanya jika kita mau menelusuri dan memulainya dengan berdiri di posisi netral atau mengambil jarak dari permasalahan agar kita bisa mengapresiasi dengan imbang. Tanpa keberfihakan, apalagi keberfihakan buta. Apresiasi itu butuh jarak untuk mengukur. Gunakan akal serta nalar yang sehat untuk menganalisa dengan rujukan rujukan yang berimbang. dan ini tentu saja butuh proses (waktu).

Coba perhatikan ketika kita bercermin pada kaca benggala, jika anda memakai topi, maka bayangan anda di kaca juga akan memakai topi, ini “Benar”. Tapi jika anda menggerakkan tangan kanan, maka yang terlihat di kaca anda menggerakkan tangan kiri, ini “Salah”. Disini diperlukan sebuah nalar yang sehat dengan memahami karakter dan cara kerja dari benda yang bernama kaca.

Lalu dimana Kebenaran yang sesungguhnya?

Setelah kita faham bahwa “benar dan salah” belum cukup untuk menemukan kebenaran sejati. sebagaimana dalam istilah jawa “Bener kuwi durung tentu Pener”. “Adil kuwi ora kudu padha” dan lain sebagainya yang sangat banyak bisa kita ambil dari filosofi-filosofi yang bersumber dari kearifan lokal kita. lalu apa itu kebenaran sejati ?, Bagaimana bisa tahu?. yaaa tentunya kembali kepada Sang pencipta manusia, sebagai pemilik seluruh kesejatian.

Berbeda dengan aturan “benar dan salah” yang dibuat oleh manusia, Sebagai orang yang beragama, Pasti kita meyakini bahwa kebenaran sejati adalah milik Tuhan dan bersifat mutlak. dalam hal ini tentunya harus dilandasi dahulu dengan keyakinan kita terhadap agama yang kita anut dan yakini. Hal ini tentu tidak berlaku bagi orang yang tidak beragama. 

Kebenaran hakiki dalam ajaran agama yang kita anut jelas keabsahannya. Jika kita menengok aturan “benar dan salah” dalam berkehidupan sosial versi berbagai ajaran agama, maka akan kita temukan garis merah kesamaannya, terutama yang menyangkut tentang hak asasi umat manusia.

Ingat…!!! Niat dan Keyakinan tidak bisa terekam oleh digital. maka dunia maya tidak tahu niat dan keyakinan kita. Jika niat kita mencari kebenaran dan keyakinan akan kebenaran yang dijanjikan oleh Tuhan akan terwujud, maka tak ada yang mampu menahan sa’at kedatangannya.  Istilah “Semua akan indah pada waktunya” mengandung do’a/harapan dan keyakinan yang menjadi benteng terakhir bagi setiap orang yang selalu berusaha dan mau bersabar menunggu.

Nunggu “DANI”

Disinilah kita menunggu Dani. Apa itu “Dani”?. Dalam bahasa Arab dan Perancis “Dani” berarti “Hampir/ Dekat”. Dalam bahasa jawa dan sunda “Dani” bermakna baik/bagus. Dalam bahasa Hebrew, “Dani” bermakna Allah akan menghakimi. Dalam bahasa Spanyol dan agama kristiani “Dani” berarti Tuhan adalah hakimku.

Dalam tulisan ini saya memakai terminology Hebrew dan agama kristiani, bahwa Tuhan/Allah akan menghakimiku. maka Kebenaran sejati itu hakimnya adalah Tuhan. dan kita sebagai ummat beragama harus yakin bahwa kebenaran yang sesungguhnya akan ditunjukkan oleh yang maha hakim di seluruh alam semesta. Hanya Allah yang tahu mana yang sesungguhnya Rohmatan Lil Alamiin.

Kebenaran hakiki dari Tuhan tak akan datang secara tiba-tiba atau instan tanpa didahului dengan proses usaha-usaha yang kita lakukan dalam mencari kebenaran yang kita yakini pada saat ini. Kebenaran sejati itu akan berada dekat dengan usaha-usaha manusia dalam mencari kebenaran itu sendiri. Tuhan tak akan merubah nasib suatu kaum, hingga kaum itu sudah berusaha untuk merubah dirinya sendiri.

Sebagai Umat beragama Islam, saya teringat kepada kisah Nabi Ibrahim yang berusaha mencari kebenaran Tuhan dengan berkali-kali merasakan kegagalan dan kekeliruannya dalam mencari Tuhan. namun kegagalan tersebut tak menyurutkan keyakinannya bahwa dia akan menemukan kebenaran sejati berbekal akal dan nalar yang sehat.

Dibutuhkan usaha terus menerus dan waktu yang panjang hingga datangnya “Dani” yang akan menghakimi dan menunjukkan apa yang terbaik bagi kita saat ini.  

Legawa kah kita jika saat “Dani” itu tiba?, karena dalam legawa itu ada unsur “lega dan gela” kudu digawa.

INTIP

Sebenarnya tulisan ini sudah saya akhiri sampai disini, namun ada sahabat saya yang ikut mengintip tulisan saya ini berkomentar : “ lha ini kan seakan baru mubtada’ saja. khobarnya mana?”. maksudnya adalah : ini kan baru pembuka saja. lalu kabar apa yang mau disampaikan khususnya hal-hal yang terjadi di dunia sosmed dalam konteks kekinian.

Yaaah terpaksa saya jawab: “mestinya tidak perlu saya ungkapkan, toh semua pemahaman ini tidak hanya untuk konteks hari ini saja. tapi pemahaman ini bersifat landasan untuk menemani kita berselancar di dunia internet”. namun agar tidak menjadi “intip” (kerak) di hati, maka terpaksa saya lanjut sedikit tulisan saya ini sebagai penutup lubang intip dan saya katakan kepadanya "Lha ini namanya Intip sarung abu-abu dong".

"Kok Intip Sarung?" tanyanya. yang langsung saya jawab : "Sarung adalah penutup aurat yang saya pakai sewaktu melakukan ritual sholat, dan setelah selesai sholat sarung pun akan saya buka, dan kamu bisa lihat saya pakai celana jeans atau celana katun, bahkan kamu bisa tahu kok kalau ada bekas luka kena knalpot di betis saya. jangan diintip pas saya sedang sholat dong". Sahabat sayapun diam sejenak sambil berfikir keras tentang sarung abu-abu. 

" Hahahaha... sarung abu-abu sebuah analogy dari amplop pilihan yang berwarna abu-abu ya?", begitu celetuknya yang saya balas dengan senyum penuh kekaguman terhadap kecepatan cara berfikirnya. maklumlah dia seorang penyair senior dan pengamat politik. hehehehe

Lalu saya teruskan tulisan intip-mengintip ini,

Dari pemahaman kita tentang dunia maya dan Dani, dapatlah kita mengintip diri kita sendiri. Sudah bijakkah kita dalam bersosmed ria?.

Hari ini, apapun yang terjadi didunia online terpantul ke dunia nyata, Dan apapun yang terjadi didunia nyata akan terpantul kedunia online. banyak hal-hal positif yang bisa kita ambil manfaatnya. dari transfer ilmu pengetahuan dan informasi, silaturahmi dan harmony kehidupan sosial  hingga ke keuntungan ekonomi. namun hal-hal negatifpun juga turut terpantul ke dunia nyata sebagai konsekuensi dari sebuah “Kaca benggala”.

Dengan belajar dari karakter “kaca benggala”, dalam konteks hari ini yang lagi panas-panasnya  di dunia sosmed bangsa indonesia, terutama pasca pemilu 2019, maka kita harus bisa bijak dalam menyikapi adanya klaim-klaim kebenaran yang berbeda dari dua kubu yang berseberangan. Toh kita sudah belajar memahami tentang  konsep “benar dan salah” ala manusia. Jangan sampai kita ikut terjerumus menjadi orang yang gampang menghakimi, tak perlulah kiranya kita menambah ruwet dunia maya dengan celoteh dan umpatan-umpatan kebencian karena keberfihakan yang kobaran panasnya otomatis akan berimbas ke dunia nyata. yang pada akhirnya merusak sendi-sendi kehidupan sosial kita di dunia nyata. Saudara dan teman berubah menjadi musuh. yang dekat semakin jauh dan lain sebagainya yang tak perlu saya panjang lebarkan.

Bersikap bijak menunggu “Dani” di gerbang praja (gerbang rakyat) adalah dengan memberi ruang apresiasi bagi setiap usaha-usaha yang dilakukan oleh masing-masing kubu untuk menunjukkan kebenarannya. melalui proses-proses dengan berbagai dinamikanya yang tentunya akan membutuhkan waktu untuk mencapai hasil akhir yang sebenarnya. Sebagaimana waktu yang kita butuhkan untuk menikmati sebuah lagu dengan komplit, yang dimulai dengan intro, verse , bridge , chorus,  refrain, interlude  hingga coda (akhir lagu). Dan kita sebagai masyarakat umum tinggal mendengarkan dan menonton sekaligus menyiapkan rasa legawa kita untuk menerima apa yang akan ditunjukkan oleh Tuhan sebagai Hakim tertinggi di coda nanti. karena Tuhan pasti akan menunjukkan apa yang terbaik bagi kita saat di gerbang praja.

Begitulah kita mensikapi dunia tehnologi sa’at ini. yang mau tidak mau, suka tidak suka sudah terlanjur mengakar di setiap sendi kehidupan sosial budaya kita. agar selalu berdampak positif bagi kehidupan nyata.

Mari kita belajar lagi dari filosofi-filosofi para leluhur kita, tentang bagaimana pentingnya sebuah proses daripada sekedar hasil. Merestorasi kembali cara pandang kita agar tidak gampang kagetan, gampang gumunan dan gampang kapusan dimulai dengan hal-hal yang sekarang kita anggap sepele dan kuno. karena efek keterbiasaan bawah sadar kita yang sudah dicekoki dengan hal hal yang serba instan, maka segala yang cepat kita anggap sebagai suatu kemajuan dan hal yang serba pelan karena harus melalui proses kita anggap sebagai hal kuno.

Sayup sayup terdengar lagu Genk Kobra Ning Nong Ning Gung... Jaman kemajuan,  ning lali paugeran.

Sekali lagi…. Aja kagetan... aja gumunan. aja kapusan.

Alon alon waton kelakon, yen pengen ngerti sing asli.

Imsaaaaak…. !!!!
uuups…..  ternyata saya harus menyudahi orek-orek ini karena semua hawa nafsu harus ditahan.

Nyuwun ngapunten dan matur nuwun.

Adipati Genk Kobra yang lagi belajar orek-orek intip sambil menunggu malam nuzulul Qur’an.
Banguntapan, 18 Mei 2019

Tuesday, January 01, 2019

Tuesday, August 30, 2016

Persembahan dari Komunitas Genk Kobra.:

KITA TETAP BERSAMA



YAM PET YAM PET (lagu anak anak)



SERAT DONG DONGAN (Genk Kobra 2016)


Sunday, June 19, 2016

Gapuraning Karta Kabuka Gusti 1949 Jawa / 2016 M

Salam Romadlon 1437 H.
Sesuai dengan sengkalan Gapuraning Karta Kabuka Gusti / Pintu Rahmat/ Kemakmuran Dibuka oleh Allah SWT.

Semoga kita selalu dalam Lindungan Nya. dan selalu diberikan kelapangan hati serta fikiran yang jernih dalam menjalani & membaca kehidupan ini.


Monday, March 21, 2016

SELASIH



Sak enak enake Dawet sing wis mbok rasakke
Isih kalah enak Dawet Selasih Pasar Gedhe
Cabuk Rambak, Pecel Ndesa, sak Gempol Plerette
Brambang Asem kurang opo nggonku tresno kowe

Sak pait paite Jamu Gendhong Pasar Legi
Isih pait urip Kleweran ra mbok kancani
Nyoto Babat, Sego Liwet, Timlo tak turuti
Thengkleng Wedhus kowe kok yo ora ngerti ngerti

    Gathot... Gendar, Thiwul, Intip, Srabi
    Lentho... Tahu kupat, diCethoti
    Gembus... mung jenenge ra ndongakke
    Tak Oleh olehi telung jinah Sate Kere

Sak panas panase Tahok karo Wedang Ronde
Isih kalah panas ngopi nDomblong nyawang kowe
Balapan Tirtonadi ora umum ramene
Bale kambang Taman jurug nglaras nggo mbayangke

Sak adoh adohe Lokananta Sriwedari
Isih kalah adoh karo angen angen iki
Obat kangen mugo mugo nemu Gethuk Lindri
Pasar Kembang padhang saka esuk awan bengi

Sok-sok Ngangeni... Sok-sok Berseri... Sok-sok Bengawan... Sok dadi Siji.
Weruh Panganan... Eling Sliramu... Bingung kudu nesu, opo kudu ngguyu

Je. L. Santo & Habib Priyatmoko

Friday, January 01, 2016

POHON BERAS


Revolusi Mental

adikku ada-ada saja lagunya
masak nanya enyak tentang pohon beras
nyak begitu tanyanya emang beras ada pohonnya

tersentak aku oleh celotehnya lugu
aku dulu tak pernah begitu
aku jadi terharu

di kecilku dulu
sawah luas selebar jagat
pohon padi daun cincau pernah kucuri

adikku kecil tak lagi alami
bau lumpur nimba kalenan juga tak lagi
jangankan ani-ani pohon padi pun tak ngerti

. : ah, apa begitu perubahan ini
(Pohon Beras, 2009)

Sebuah puisi saya kutip di atas, sebagai pembuka tulisan ini. Puisi yang Saya tulis itu bercerita tentang sebuah generasi yang tak lagi mengenal pohon padi. Apakah ini sebuah ironi? Ironi dari masyarakat kita hari ini. Masyarakat yang konon dikenal sebagai masyarakat agraris, tetapi generasinya hari ini sudah tidak lagi mengenal pohon maha penting dalam kehidupannya. Sebuah pohon yang dahulu pernah membuat kita bangga karena keberhasilan swasembada pangan. Kini tidak semua anak dari generasi hari ini yang betul-betul mengenal pohon ini.

Seberapa penting generasi kita hari ini mengenal pohon-pohon yang begitu melekat dalam kehidupan mereka? Apakah sepenting mereka belajar bagaimana berselancar dengan baik di dunia internet? Atau keberadaannya tidaklah terlalu penting untuk diketahui. Karena mengenalnya adalah symbol ketertinggalan. Tidaklah penting generasi kita tahu apa dan bagaimana pohon ini. Cukup mereka mengerti bahwa beras adalah kebutuhan pokok mereka. Membelinya adalah cara termudah untuk mengonsumsinya.

Generasi kita hari ini, yang tak mengenal apa dan bagaimana pohon ini, rasanya tidak layak memimpin negeri ini. Bagaimana mereka mampu merasakan kebutuhan masyarakat luas bila kebutuhan dasar dari masyarakat dan dirinya sendiri saja, mereka abai. Sulit membayangkan seorang pemimpin masyarakat sama sekali tidak tahu bahwa ia dibesarkan dari pohon ini. Mengenal pohon padi adalah upaya mengenal diri sendiri. Mengenal diri sendiri adalah jalan menemukan sikap mental apa yang hendak dibangun
.
Modernitas dan perubahan mengasingkan  kita pada masa lalu. Kerap kita mengalami amnesia sejarah. Bahwa menemukan masa lalu tidak terlalu penting bagi upaaya untuk maju. Hari ini kebutuhan kita adalah bagaimana tampil sejajar dengan orang lain. Bahkan kalaupun belum sejajar bagaimana caranya disejajarkan. Tidaklah penting cara berpikir seperti apa yang kita gunakan. Tetapi, apa yang bisa kita tampilkan adalah sebuah pencapaian prestasi yang hebat. Meski, untuk itu kita hanya perlu menempelkan cara berpikir kita pada sekelompok masyarakat lain yang kita anggap lebih hebat. Tak penting isi (substansi). Terpenting adalah orasi.

Saya kira salah satu factor penting yang perlu dipikirkan dalam gerakan “revolusi mental” ini bersikap kritis pada hal-hal yang remeh temeh seperti ini. Mengajarkan generasi muda kita mengenal pohon padi bukan pekerjaan yang sia-sia. Mendekatkan mereka pada hal-hal yang sesungguhnya sehari-hari mereka makan, dirasakan dan hadapi adalah pekerjaan kebudayaan yang teramat penting. Ini jauh lebih penting dari sekadar membuat program beasiswa anak-anak penting untuk sekolah ke luar negeri. 

Revolusi mental tidaklah berasal dari ruang kosong. Ia pastinya berlatar kesadaran sejarah. Mau mengerti apa yang seharusnya menjadi bagian dari wilayah kesadaran kolektif jauh lebih penting dari sekadar kesadaran yang bersifat parsial. Karenanya, berbicara revolusi mental pada dasarnya kita sedang berusaha untuk mengerti latar kita terlebih dahulu. Apa dan bagaimana kita di masa lalu. Bagaimana kita berpijak hari ini. Dasar utama dari semua itu adalah kesadaran untuk mencoba melihat dengan jernih masa lalu kita. Memilahnya. Menemukan sesuatu yang berharga. Menjadikannya sebagai modal social kita hari ini.

Saya kira, ke arah sanalah gerak revolusi mental kita bisa dimulai. Seperti tersirat semangatnya dalam sebuah puisi dibawah ini:

ingatanku sedang mencari hulu
agar tepat jalan ke bentang muara
setiap berhenti singgah selalu sempat kupandang
ganggang lumut cere sepat rumput ilalang

di kampungku tak kutemukan laut
kuserahkan saja padamu pengartian gelombangnya
aku sendiri merasa asik saja menganyam jaring
memastikan waktu menangkap ikannya

di tempatku dulu biasa memanggil semut
dengan mantra katelku aliya kusebut
sebagai pemintal benang
agar datang semut-semut geramang

di sana tak ada yang mencintai puisi
seperti caraku saat ini

tetapi ibuku selalu berlinang
jika kubacakan padanya berulang

(Declare, 2009).
Mungkin suatu saat kita akan dipertemukan dengan sebuah pertanyaan, “Apa Jawa punya aksara?”. Wallohu a’lam.

By Akhmad Fikri Af
Published by ndomblong corporation

Tuesday, November 17, 2015

Mengenalkan Kopi Dunia Lewat Aksara Jawa

Begitulah Judul Tulisan liputan Teman Wartawan dari Koran Sindo (Mas Hardjono) yang ikut hadir dalam Acara syukuran pembukaan Daipilong (Kedai Kopi Ndomblong) Arga Dumilah di Brambang, Bukit Bintang, Pathuk, Gunungkidul.
ada sebuah guyonan dalam acara peluncuran produk baru Kopi Ndomblong di Pathuk pada waktu itu.

"Jangan karena panjenengan tidak bisa baca aksara jawa, kemudian mencap saya tidak nasionalis karena menggunakan aksara jawa lho. Semua tulisan jawa dalam kemasan produk Kopi Ndomblong itu berbahasa Indonesia, dan ikrar NKRI kita itu Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa. tidak ada Satu Aksara to....?"


Kamipun tertawa bersama...




Bahkan Nota di Daipilong Keprabon Solo dan Insya Allah di setiap Daipilong nantinya menggunakan aksara jawa juga.


Indahnya Bhineka Tunggal Ika.
(Bangga Dengan Budaya & Produk Bangsa sendiri)