Sunday, October 08, 2006

dari Blog tetangga : Puasa kita saat ini!

Saya terharu membaca pengalaman kang Hasan, saya bersekolah di Pennsylvania dan ini kali pertama saya berpuasa jauh dari komunitas saya di Yogya. Anehnya, saya justru lebih khusyuk menjalankan puasa disini, karena seperti kata Kang hasan, puasa disini juga hening, saya mengatur semua jadwal saya termasuk jadwal rutin sholat. Saya sangat terharu dan malu waktu prof saya mempersilahkan saya berbuka puasa di dalam kelas waktu saya mengikuti kuliah malam hari...karena saya kebetulan satu satunya muslim dikelas itu...alangkah bedanya dg suasana puasa di Indonesia dimana semua moment harus ditandai dg suara hiruk pikuk.

Di Indonesia (maaf) saya malah mendapat kesan bahwa orang yg berpuasa terlalu melebih-lebihkan bulan suci yg harusnya penuh suasana tenang untuk membersihkan diri. Seakan mereka ingin membuat pengumuman "HEI LIHAT, AKU BARU BERPUASA...SEMUANYA HARUS MENGHORMATIKU...." dan melupakan umat beragama lain disekitarnya. Benar kata Kang Hasan, puasa adalah hubungan hamba dengan Tuhan, dan kalau niat kita sudah bulat ke hal tersebut, akan menjadi lucu kalau kita masih khawatir iman kita akan goyah hanya dg melihat orang makan atau ramainya tempat hiburan. Dan satu lagi, Insya Allah kita juga akan selalu dihormati kalau kita juga menghormati mereka.

Mohon maaf lahir bathin dan selamat berpuasa bagi yg menjalankannya.

Ani - Penn

petrus bogi wrote:
Salut dengan pemikiran anda dan patut dijadikan contoh untuk pemeluk agama apapun. Dan saya yakin Kang Hasan mendapat pendidikan agama yang baik dimulai dari kecil dalam lingkup keluarga. Nah sekarang bagi2 ilmunya Kang soal proses menjadi bijak seperti anda


Salam
yogi

Cecilia Algina wrote:
Aduh Kang Hasan..seandainya seluruh umat muslim d
Indonesia bisa sebijak anda. Saya, sebagai non-muslim,
suka heran dengan berita2 d bulan ramadhan, jika ada
sweeping tempat jual makanan, rumah makan-rumah makan
harus menutup kacanya dgn korden... Rasanya kok aneh
ya?

Karena d keluarga besar saya banyak juga yang muslim,
dan mereka ga pernah marah tu seandainya ada anggota
keluarga yg ga puasa makan d depan mereka (misal
mereka sdg bertamu k rumah keluarga yg tidak puasa
saat makan siang). Paling yang punya rumah permisi
makan, klo mereka masi mo gabung ngobrol juga puasanya
ga batal tuh...

cheers,
gina

--- Kang Hasan wrote:

Sudah hampir sepuluh tahun saya bermukim dan
melewatkan suasana bulan Ramadhan di Jepang. Sudah kurang lebih sepuluh
kali bulan Ramadhan saya lalui sebagai bagian dari 100 ribu
muslim di tengah 120 juta penduduk Jepang. Itu berarti sudah selama
itu pula saya menjalani kehidupan sebagai seorang muslim
minoritas. Pengalaman beribadah dan berdakwah, khususnya suasana bulan
Ramadhan, sungguh berbeda dengan yang sebelumnya saya alami di negeri
sendiri, di mana Islam merupakan agama mayoritas. Perbedaan itu,
untungnya, justru memberikan banyak pelajaran berharga untuk
direfleksikan bagi kehidupan beragama di tanah air.

Ramadhan di Jepang adalah Ramadhan yang hening.
Di malam hari kita tak mendengar peningkatan volume keriuhan suara
karena ada tambahan suara dari mesjid-mesjid. Pun tak ada suara
dari ritual membangunkan orang untuk sahur. Setiap orang mengatur sendiri waktu
shalat, sahur, atau berbuka puasa berdasarkan jadwal
shalat yang informasinya dengan mudah diperoleh di internet.
Kaum muslimin juga tidak mendapat "perlindungan" khusus dari pemerintah Jepang yang sekuler itu. Tidak ada anjuran untuk menghormati orang yang berpuasa, karena sebagian besar masyarakatJepang bahkan tidak tahu bahwa kita sedang berpuasa.

Sake (minuman keras) memiliki tempat yang penting dalam
budaya dan dunia bisnis Jepang. Karenanya di manapun kita akan
dengan mudah menemukan kedai sake atau bar yang bergaya barat. Di
kawasan tertentu tempat-tempat minum hadir bersama hiburan malam
dengan wanita/pria penghibur.

Jenis hiburan yang disediakan beragam , dari yang sekedar teman minum hingga teman tidur. Semua tempat minum dan hiburan itu tentu saja tetap berbisnis
seperti biasa sepanjang bulan Ramadhan. Tak ada peraturan yang
membuat mereka harus menghentikan bisnis dalam rangka menghormati
bulan Ramadhan atau orang-orang yang sedang berpuasa.

Demikianlah, minoritas muslim di Jepang tetap khusuk menjalankan ibadah selama bulan Ramadhan meski tidak dibuat kondisi khusus untuk itu. Tempat-tempat ibadah berupa mesjid dan islamic center di beberapa kota tertentu, ruangan di
kedutaan, kampus, atau ruangan apa saja yang disulap menjadi tempat ibadah
sementara, dipenuhi hadirin untuk shalat berjamaah, tadarus, atau pengajian.
Tidak diperlukan suara hiruk pikuk untuk membuat orang hadir di
tempat ibadah.
Kaum muslimin yang sedang berpuasa tidak merasa terganggu oleh aktivitas makan-minum orang-orang Jepang di tempat umum. Mereka bahkan tidak merasa terganggu dengan tetap beroperasinya tempat- tempat hiburan malam. Alasannya sederhana, karena
keseharian mereka memang tidak pernah bersinggungan dengan aktivitas
di tempat-tempat tersebut.

Singkat kata, kaum muslimin dapat beribadah dengan tenang dan
khusuk tanpa memerlukan pengkondisian secara khusus.
Karenanya berbagai pengkondisian menjelang dan selama bulan
Ramadhan di tanah air patut dipertanyakan urgensinya.
Seperti kita ketahui, banyak peraturan khusus yang
dikeluarkan pemerintah daerah dalam rangka menghormati bulan
Ramadhan dan orang yang berpuasa. Tempat-tempat hiburan malam harus
ditutup selama bulan Ramadhan. Di beberapa daerah ada Perda yang
melarang orang berjualan makanan atau makan di tempat umum di siang
hari. Tujuannya adalah agar orang-orang tak terganggu puasanya.
Saya masih sulit memahami kalau aktivitas makan-minum orang
lain bisa mengganggu puasa kita. Demikian lemahkah iman kita?
sehingga kita bisa tergoda hanya dengan melihat orang lain makan?
Demikian pula, mungkinkah kekhusukan ibadah kita terganggu dengan
aktivitas di tempat hiburan malam kalau kita sama sekali tidak
pernah mengunjungi tempat-tempat itu?
Puasa adalah ekspresi ketundukan. Puasa adalah ekspresi
hubungan khusus antara hamba dengan Khaliknya. Puasa
semestinya dilakukan dalam kesunyian relung pribadi. Tapi yang
kita lakukan justru sebaliknya. Kita mengumumkan puasa kita.

Bahkan kita menuntut orang untuk menghormati kita.
Lalu, ibadah malam kita tak jarang riuh rendah, hampir
semuanya kita lakukan dengan loud-speaker bertenaga
besar. Mulai dari azan, shalat, ceramah, zikir, tadarus, hingga
aktivitas membangunkan orang untuk sahur. Ramadhan, bagi
sebagian non-muslim
adalah bulan dengan peningkatan intensitas kebisingan.
Masihkah tersisa ekspresi ketundukan dalam puasa yang
demikian itu?

Sendai, 28 September 2006

http://abdurakhman.com/joomblog/79.html